Hakikatnya,
pergantian tahun tidak ada bedanya dengan pergantian bulan, minggu,
hari, jam, atau detik. Bagi seorang muslim, semua pergantian waktu itu
harus disikapi dengan sikap yang sama: memperkuat dzikrullah, mengingat
Allah ta’ala.
Inilah yang disyaratkan Allah ta’la dengan firman-Nya:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan
Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa
neraka. (QS. Ali Imran, 3: 190 – 191)
Memahami hakikat ini, setiap kita hendaknya mau meluangkan waktu
untuk tadzakkur (merenung) dan tafakkur (berpikir). Menyegarkan kembali
ruhul ibadah, dengan membiarkan tetesan khauf (takut) membasahi qalbu.
Menghirup sejuknya raja’ (berharap), tawakkal (berserah diri), dan
khusyu’ (tunduk), dengan raghbah (penuh minat), dan rahbah (cemas).
Pergantian waktu ini, hendaknya kita gunakan untuk inabah (kembali),
isti’anah (memohon pertolongan), isti’adzah (memohon perlindungan), dan
istighotsah (memohon pertolongan untuk dimenangkan atau diselamatkan)
kepada Allah Ta’ala.
Mari kita bercermin. Adakah ruhani kita tumbuh subur, ataukah kering
kerontang? Nafsu manakah yang menguasai jiwa, apakah nafsu amarah
bi-shu—yang selalu mendorong pada kejahatan—, nafsu lawwamah—yang
mengombang-ambing dalam kebaikan dan kejahatan, ataukah nafsu
muthmainnah—yang menentramkan jiwa dalam kebaikan dan ketaatan pada
Allah Ta’la ?
Pergantian tahun ini hendaknya menyadarkan kita, tentang pentingnya
ri’ayah ma’nawiyah, pemeliharaan maknawi, agar kita terhindar dari
penyakit al-wahn (kelemahan jiwa), hubbud dunya wa karohiyatul maut,
cinta dunia dan takut mati; menyadarkan kita tentang perlunya jiwa
mendapat al-ghida (gizi) yang cukup, berupa ibadah yang dibarengi ruh,
bukan sekedar rutinitas dan seremonial belaka; menyadarkan kita tentang
perlunya jiwa yang sakit mendapatkan asy-syifa (pengobatan), berupa
taubat dan istighfar.
Setahun telah berlalu…
Ada 1700 peluang kewajiban shalat berjamaah. Ia sama dengan 6018
rakaat. Ada peluang 5300 rakaat sunnat rawatib dan witir, ada peluang
420 rakaat qiyamullail, tarawih dan tahajjud…
Berapa banyak peluang di atas yang kita lakukan secara berjamaah?
Berapa kali kita shalat berjama’ah di masjid pada barisan pertama?
Seberapa besar tingkat kekhusyuan kita dalam shalat-shalat itu? Adakah
semua peluang itu mendekatkan kita kepada Allah Ta’ala?
Ada peluang 92 hari untuk berpuasa Senin dan Kamis, 30 hari peluang
berpuasa ayyamul bidh, 1 hari puasa Tasu’a dan 1 hari puasa Asyura…
Berapa hari kita isi peluang-peluang itu dengan berpuasa? Berapa banyak kita memanfaatkan fadhilah-nya?
Ingatlah bahwa kekasih kita, Rasulullah SAW bersabda,
مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بَعَّدَ اللَّهُ وَجْهَهُ عَنْ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا
“Barang siapa yang shoum (berpuasa) satu hari di jalan Allah, maka
Allah akan menjauhkan wajahnya dari neraka sejauh tujuh puluh
musim”.(HR. Bukhari).
Ada peluang 12 kali khatam Al-Qur’an, adakah kita menyempurnakannya
dan melakukan tadabbur (perenungan) terhadapnya? Sedangkan satu kali
khatam sama dengan 305 juta kebaikan!
Ada peluang 130.000 sedekah wajib yang dapat engkau pergunakan, sebab Rasulullah SAW bersabda,
كُلُّ سُلَامَى مِنْ النَّاس عَلَيْهِ صَدَقَةٌ كُلَّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيهِ الشَّمْسُ يَعْدِلُ بَيْنَ النَّاسِ صَدَقَةٌ
“Setiap ruas tulang pada manusia wajib atasnya shadaqah dan setiap
hari terbitnya matahari di mana seseorang mendamaikan antara manusia
maka terhitung sebagai shadaqah”.(Bukhari Kitab).
Adakah kita telah menunaikan dan memenuhinya? Atau mengupayakannya
semaksimal mungkin atau mendekati maksimal? Atau adakah kita telah
bertekad dan berniat?
“Beruntung sekali bagi seseorang yang menemukan banyak istighfar dalam lembaran amalnya”.
Ada peluang 50 pekan di mana kita dapat merealisasikan silaturahim
dan mengunjungi kerabat, berbakti kepada orang tua, mengunjungi orang
sakit dan memenuhi berbagai kepentingan kaum muslimin…
Berapa banyak kita dapat menemukan amal-amal ini? Berapa banyak
amal-amal ini yang kita lakukan secara ikhlas karena Allah dan tidak
tercampur oleh syahwat nafsu atau kompetisi dengan orang lain, atau
mengejar popularitas atau gegap gempitanya media, atau ikut-ikutan
kepada sufaha (orang-orang yang bodoh dan tidak memperhitungkan
akhirat)?
Kemudian, coba kita lihat amal yang sudah kita lakukan, berapa besar
ukurannya? Berapa berat timbangannya, dan berapa banyak pengaruhnya?
Bandingkan antara kebaikan dan keburukan kita? Lalu lihat, berapa
banyak kebaikan yang kita tinggalkan dan berapa banyak pula yang kita
dapatkan?
Ingatlah kepada ucapan Ibnu Mas’ud RA, “Saya tidak pernah menyesali
sesuatu yang seperti penyesalanku kepada suatu hari di mana matahari
terbenam yang menjadi pertanda ajalku berkurang sementara amalku tidak
bertambah”
(1 Muharram 1437 H)
Kata muhasabah sdh akrab di telinga kita.sebagian orang sdh memahami
nya namun tidak sedikit diantara mereka sama sekali belum memahaminya.
Selain itu banyak orang yg sdh memahami pengertian muhasabah tetapi ia
tidak juga bermuhasabah.atau mungkin ia sdh muhasabah tetapi tidak
merasakan perbedaan yang signifikan.Bahkan ada pula orang yang setelah
muhasabah malah merasa dirinya banyak beramal dan tidak pernah berbuat
dosa.
Evaluasi diri adalah sebuah kebutuhan manusia.Setiap orang yg ingin hari
esok lbh baik dari sekarang dan sekarang lbh baik dari hari kemarin
harus rajin mengevaluasi dirinya.Sebab tanpa evaluasi diri kita sulit
untuk bisa berubah menjadi lbh baik,dan orang yg tdk mengevaluasi diri
akan merasa dirinya sdh berada pada koridor yang benar.
Semoga Allah menjadikan kita hamba hamba yg istiqomah dalam kebaikan dan perbaikan…Aamiiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar